Blurb
Paris, Mei 1968.
Ketika gerakan mahasiswa
berkecamuk di Paris, Dimas Suryo, seorang eksil politik Indonesia, bertemu
Vivienne Deveraux, mahasiswa yang ikut demonstrasi melawan pemerintah Prancis.
Pada saat yang sama, Dimas menerima kabar dari Jakarta: Hananto Prawiro,
sahabatnya, ditangkap tentara dan dinyatakan tewas.
Di tengah kesibukan mengelola
Restoran Tanah Air di Paris, Dimas bersama tiga kawannya, Nugroho, Tjai, dan
Risjaf -terus menerus dikerjar rasa bersalah karena kawan-kawannya di Indonesia
dikejar, ditembak, atau menghilang begitu saja dalam perburuan peristiwa 30
September. Apalagi dia tak bisa melupakan Surti Anandari - Isteri Hananto –
yang bersama ketiga anaknya berbulan-bulan diinterogasi tentara.
Jakarta, Mei 1998.
Lintang Utara, puteri Dimas dari
perkawinan dengan Vivienne Deveraux, akhirnya berhasil memperoleh visa
Indonesia untuk merekam pengalaman keluarga tragedi 30 September sebagai tugas
akhir kuliahnya. Apa yang terkuak oleh Lintang bukan sekadar masa lalu ayahnya
dengan Surti Anandari, tetapi juga bagaimana sejarah paling berdarah di
negerinya mempunyai kaitan dengan Ayah dan kawan-kawan ayahnya, Bersama Segara
Alam, putera Hananto, Lintang menjadi saksi mata apa yang kemudian menjadi
kerusuhan terbesar dalam sejarah Indonesia: kerusuhan Mei dan jatuhnya Presiden
Indonesia yang sudah berkuasa selama 32 tahun.
Thoughts
Itulah beberapa paragraf yang
tertulis di bagian belakang buku Pulang karya Leila S. Chudori. Paragraf demi
paragraf yang justru saya baca setelah saya selesai membaca bukunya. Konyol
bukan? Jika biasanya saya memilih novel atau buku yang akan saya baca lewat blurb yang terletak di cover belakang buku, hal berbeda terjadi
ketika saya memilih buku ini dari ribuan buku-buku yang mejeng di Dispusipda
Jawa Barat. Nama Leila S. Chudori yang benar-benar baru pertama kali saya baca
namanya membuat saya tanpa pikir panjang memutuskan buku ini untuk jadi bacaan
saya selanjutnya. Saya juga belum pernah membaca atau mendengar review dari novel bersampul kuning tua
ini. Justru baru tahu ternyata bukan hanya saya yang menganggap buku ini bagus
setelah melihat kolom komentar di laman goodreads
tentang buku ini. Lantas mengapa saya memilih buku satu ini?
Ketidaksengajaan yang sempurna.
Ya, buku ini boleh dibilang buku
lama, buku ini diterbitkan tahun 2012 oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG).
Sudah cukup lama, bukan? Seperti yang saya bilang
sebelumnya, buku ini memiliki magnet sehingga membuat saya tertarik mengambil
buku ini diantara banyaknya buku yang berjejer di rak perpustakaan. Kebetulan
memang saya sedang mencari bacaan yang agak sedikit berat; yang ceritanya tidak melulu tentang pasangan kekasih yang
dilanda konflik dan berakhir dengan drama bahagia ala cerita dongeng.
Tanpa harus saya jelaskan lebih
dalam lagi, buku ini berkisah tentang Dimas Suryo, seorang eksil politik yang
terpaksa dan dipertemukan takdir untuk harus terbang ke luar negeri;
meninggalkan tanah air tercinta, Indonesia. Tanpa ia sangka, tempat yang di
benaknya ia anggap ‘pengasingan’, ternyata merupakakan tempat hatinya berlabuh
pada wanita cantik asal Paris, Vivienne Deveraux.
Novel ini mengambil latar di
Prancis dan Indonesia. Cerita tiga peristiwa bersejarah di dua negara tersebut;
Indonesia 30 September 1965, Prancis Mei 1968, dan Inonesia Mei 1998.
Novel ini menurut saya adalah
sebuah ‘paket komplit’. Selain menyuguhkan pelajaran sejarah dan politik
Indonesia di tahun 1968 – 1998 yang dikemas seindah mungkin, lewat novel ini,
Leila juga menyuguhkan cerita persahabatan empat orang lelaki; Dimas, Nugraha,
Tjai, dan Risjaf yang selanjutnya dikenal dengan nama empat pilar Tanah Air.
Bagaimana pengalaman manis serta ketir nya mereka jauh dari tanah air;
meninggalkan orang tersayang di tanah air. Di satu sisi, makna perjuangan pun
terasa sangat kental di novel ini, tentang bagaimana mereka berusaha tetap
‘hidup’ dengan situasi apapun, perjuangan mereka membangun Restoran Tanah Air
di Paris yang jauh dari kata mudah, perjuangan mereka menerima teror sepanjang
hidup dan betapa tidak tenangnya menjalani hidup sebagai mereka yang dianggap
‘tahanan politik’.
Yang tak bisa dilupakan, novel
ini juga berkisah cinta segitiga yang di alami dua generasi; ayah dan anak.
Tentang Dimas Suryo yang masih diliputi bayang-bayang Surti Anandari di
tengah-tengah pernikahannya dengan Vivienne juga tentang Lintang Utara yang
gamang memilih Narayana; pria tampan blasteran Prancis-Indonesia yang sudah
menjalin kasih dengan Lintang sejak lama ataukah Segara Alam; putra bungsu
Surti Anandari, si le coup de foudre yang
menggetarkan hatinya sejak pertama kali bertemu.
Saya sangat menikmati membaca
lembar demi lembar novel Leila S. Chudori ini, sangat amat menikmati. Saya
dibuat ketagihan ingin terus membaca novel ini hingga akhir, tanpa rasa bosan
dan tanpa rasa malas. Akibatnya, novel 464 halaman ini berhasil saya lahap
dalam waktu kurang lebih dari dua malam saja. Walaupun berganti-ganti sudut
pandang, tapi tak serta merta membingungkan saya karena cara penuturan nya yang
begitu lembut. Rangkaian surat-surat panjang yang dilampirkan di novel ini juga
menyegarkan bacaan menurut saya; seperti benar-benar sedang membaca surat.
Novel ini juga cukup mengguncang
perasaan saya membaca bagaimana Indonesia di kala itu. Saya, generasi tahun
1990-an yang hanya tau sekilas sejarah G30 S PKI ataupun demo penurunan
presiden Soeharto kala itu dibuat terbuka pandangan saya bagaimana
menyeramkannya Indonesia kala itu. Rusuh.
Yang saya suka dari buku ini juga
karena penulis telah mengenalkan saya kepada orang dan karya karya hebat yang
beliau tuliskan di novel ini. Beberapa nama seperti T.S. Elliot, John
Steinbeck, Shakespeare, James Joyce dan masih banyak lagi ditulis di novel ini.
Juga, tokoh-tokoh pewayangan seperti Ekalaya dan Arjuna.
Kalau saya rating, mungkin saya
akan kasih 4.5/5 untuk bacaan sekeren ini. Sangat sayang baru membaca karya
hebat ini sekarang, tapi gak apa apa, daripada tidak sama sekali ya? Highly Recommended.
Comments