Buku ini adalah buku pertama dari sebuah trilogi yang
ditulis Ahmad Fuadi. Diterbitkan pertama oleh Gramedia di tahun 2009, buku ini
menjadi buku yang masuk deretan national
best seller. Berkisah tentang perjuangan Alif Fikri yang harus mengubur
impiannya masuk SMA setamat menimba tiga tahun ilmu di sebuah Madrasah Tsanawiyah di daerah Maninjau,
Sumatera Barat.
Impiannya untuk menimba ilmu di SMA Bukittinggi, lalu
berkuliah di ITB, dan terus ke Jerman seperti Pak Habibie pupus sudah setelah
perbincangan dengan Amak di langkan
rumah malam itu. Amak lebih ingin
anak bujang nya itu masuk sekolah agama; tidak ke SMA seperti harapannya. Perintah Amak bukan
sesuatu yang bisa di bantah. Tiga hari mogok bicara dan mengurung diri di kamar
pun tak membuat keinginan Amak goyah.
Dengan setengah hati, akhirnya Alif Fikri memutuskan
melanjutkan sekolahnya ke sebuah pondok di Jawa Timur, Pondok Madani. PM, sebuah tempat bersejarah di hidup seorang Alif Fikri;
perantau dari kampung nan jauh disana. Pondok penuh perjuangan dan sarat akan
pelajaran. Di tempat ini pula, ia bertemu kawan yang menemani perjuangannya
empat tahun belajar di Pondok; Raja Lubis, Said Jufri, Baso Salahuddin,
Dulmajid, dan Atang. Perbedaan latar belakang membuat mereka mengenal satu sama
lain, bertukar cerita, bertukar mimpi, dan bersama-sama mewujudkan mimpi itu.
Enam orang sahabat yang selanjutnya dikenal dengan nama Sahibul Menara.
“Bagaikan menara,
cita-cita kami tinggi menjulang. Kami ingin sampai di puncak-puncak mimpi
kelak.”
Opinion
Saya mungkin telat membaca buku ini, namun saya tidak
menyesal karena setidaknya saya pernah membaca buku hebat dari Ahmad Fuadi satu
ini. Cover depan bertuliskan Indonesia’s Most Inspiring Novel membuat
mata saya terfokus pada Negeri 5 Menara ini. Saya sangat menikmati membaca buku ini, tidak ada kata malas
sedikitpun untuk membaca buku ini. Bacaan yang membuat saya ingin cepat-cepat
menyelesaikannya, saya pun ikut larut dalam suasana Pondok Madani yang
diceritakan Alif.
Kata demi kata dan kalimat demi kalimat di buku ini mengalir
begitu saja, tidak membuat pembaca lantas kebingungan memahami maksudnya.
Membaca buku ini serasa mendengar seorang teman bercerita bagaimana
kehidupannya di pondok pesantren, sangat menarik.
Emosi saya juga menjadi satu dengan tokoh-tokoh di novel
ini. Saya merasakan bagaimana konflik batin yang dirasakan Alif. Sangat ngena.
Gimana rasanya ketika kamu punya mimpi dan telah merancang poin-poin menuju
kesana lalu dengan tiba-tiba seseorang meminta untuk mengubah haluan. Sakit. Yang paling menyakitkan ketika
bagian Alif bersurat dengan Randai; karibnya di Maninjau yang mimpinya bisa
terwujud, masuk SMA, lalu kuliah Teknik Mesin di ITB. Impian yang sama dengan
yang Alif mimpikan. Hal itu pula yang membuat Alif bimbang. Untungnya, nasihat Amak, kawan-kawan, dan guru-guru bisa
menguatkannya.
Membaca buku ini jadi terbayang bagaimana kehidupan di
pondok pesantren yang mungkin tidak semua pondok sehebat Pondok Madani ini.
Ketatnya peraturan pondok memaksa Alif dan kawan-kawannya untuk terbiasa
mengikuti arus. Saya pun jadi tahu beberapa istilah dan sistem yang ada di
Pondok Madani lewat buku ini, seperti jasus
contohnya.
Tak heran buku ini menjadi buku inspirasi paling dahsyat. Setelah membaca buku ini pun,
saya hening dan diam sejenak; otak saya berputar dan mencerna. Keadaan ini tak
jauh beda setelah mengikuti seminar ESQ. Nasihat, petuah, dan inspirasi di buku
ini benar benar ngena!
Highly recommended, nilai
sempuna untuk buku hebat satu ini.
Comments