Halo!
Di postingan kali ini, aku
bakalan ngebahas sebuah buku hasil perburuan aku di harbolnas kemarin! Huehehe.
Karya dari penulis favorit aku, Okky Madasari, Entrok.
Anyway, cerita dikit hehe harbolnas kemarin tuh bener bener
mengeruk seluruh dompet aku, alhasil
budget untuk beli buku pun berkurang banget nget nget. Jadi, sebelum
memutuskan untuk beli karya Okky Madasari yang satu ini, aku memang banyak browsing dan baca review orang tentang buku ini karena dilanda kegalauan yang
berkepanjangan pas mau checkout di website Gramedia soalnya uangku cukup
buat beli 2 bukunya mbak Okky ini. Akhirnya aku putusin beli dulu 2 bukunya
beliau, Entrok dan Pasung Jiwa.
Mungkin bisa dibilang telat pake
banget kali ya review nya karena
emang aku baru baca buku terbitan tahun 2010 ini di tahun 2017, tapi tak apalah
ya hehehe. So, is it worth to read? Yuk
baca review aku!
Blurb
Marni, perempuan Jawa buta huruf yang masih memuja leluhur. Melalui sesajen dia menemukan dewa-dewanya, memanjatkan harapannya. Tak pernah dia mengenal Tuhan yang datang dari negeri nun jauh di sana. Dengan caranya sendiri dia mempertahankan hidup. Menukar keringat dengan sepeser demi sepeser uang. Adakah yang salah selama dia tidak mencuri, menipu, atau membunuh?
Rahayu, anak Marni. Generasi baru yang dibentuk oleh sekolah dan berbagai kemudahan hidup. Pemeluk agama Tuhan yang taat. Penjunjung akal sehat. Berdiri tegak melawan leluhur, sekalipun ibu kandungnya sendiri.
Adakah yang salah jika mereka berbeda?
Marni dan Rahayu, dua orang yang terikat darah namun menjadi orang asing bagi satu sama lain selama bertahun-tahun. Bagi Marni, Rahayu adalah manusia tak punya jiwa. Bagi Rahayu, Marni adalah pendosa. Keduanya hidup dalam pemikiran masing-masing tanpa pernah ada titik temu.
Lalu bunyi sepatu-sepatu tinggi itu, yang senantiasa mengganggu dan merusak jiwa. Mereka menjadi penguasa masa, yang memainkan kuasa sesuai keinginan. Mengubah warna langit dan sawah menjadi merah, mengubah darah menjadi kuning. Senapan teracung di mana-mana.
Marni dan Rahayu, dua generasi yang tak pernah bisa mengerti, akhirnya menyadari ada satu titik singgung dalam hidup mereka. Keduanya sama-sama menjadi korban orang-orang yang punya kuasa, sama-sama melawan senjata.
Plot
Novel ini menceritakan kerasnya
hidup Sumarni, seorang dara yang berasal dari pedalaman Jawa, yang harus
berjuang mengubah hidupnya dari belenggu kesengsaraan.
Di awal-awal, novel ini
menceritakan tentang keinginan Marni sebagai seorang gadis remaja yang baru
menginjak masa pubertas untuk membeli entrok
atau BH. Sayangnya, di zaman perang dulu, punya entrok adalah suatu hal yang dianggap mewah dan nggak semua orang
mampu membelinya. Si Mbok nya yang
bekerja sebagai buruh kupas kulit singkong di pasar cuma diupahi dengan
singkong, bukan dengan uang. Keinginan membeli entrok pun rasanya semakin mustahil, lah buat makan aja susah.
Namun, di novel ini, kita
diperkenalkan dengan karakter seorang Marni yang kuat, tangguh, dan nggak
gampang menyerah. Marni merasa enggan jika ia harus kalah oleh takdirnya. Oleh
karenanya, Marni nekat bekerja jadi kuli di
pasar tempat si Mbok nya bekerja.
Walaupun awalnya keinginan Marni ini ditentang Mbok nya karena wanita itu dianggap nggak pantas kerja jadi kuli, tapi bukan Marni ceritanya kalau
nggak nekat.
Keping demi keeping uang hasil nguli, dia kumpulkan sampai akhirnya dia bisa membeli entrok yang diidamkannya. Namun, setelah mendapat entrok yang dia mau pun, Marni nggak
berhenti kerja jadi kuli. Dia malah senang mengumpulkan rupiah demi rupiah dan
ditabungnya untuk bekal hidupnya dan si Mbok.
Ketika uang itu bertambah banyak, Marni pun memutuskan untuk bakulan, jualan sayur keliling di
desanya.
Kegesitan dan kesigapan Marni ini
tampaknya jadi alasan Suteja, kuli di pasar yang sama dengan Marni, tertarik
untuk menikahi Marni. Singkat cerita, Teja dan Marni pun menikah. Setelah
menikah, Teja berhenti jadi kuli dan
memutuskan untuk membantu Marni berjualan. Usahanya tambah laris, bahkan
sekarang Marni nggak cuma jualan sayur, tapi juga jualan perabotan rumah tangga
dan usahanya semakin maju sampai dagangannya pun nggak hanya berupa barang,
tapi juga uang.
Namun, majunya usaha dan
bertambahnya pundi pundi uang tak serta merta membuat Marni bahagia. Kekayaan
Marni ini justru membuatnya sering jadi bahan gunjingan warga. Marni yang
dianggap kere dulunya, sekarang punya
harta berlimpah itu dianggap aneh. Warga di sekitarnya pun nganggap kalau Marni
ini melihara tuyul, ikut pesugihan, dan musyrik.
Rahayu, anak perempuan semata
wayang Marni, yang mendapatkan pendidikan dari sekolahnya sadar kalau apa yang
dilakukan ibuna itu melanggar norma dan dosa; ritual nyembah leluhur, ngasih
sesajen, dan jadi rentenir. Tak jarang, Rahayu ini sering jadi olok-olokan dan
cemoohan teman-teman bahkan gurunya karena kelakuan ibunya. Itu jugalah yang
menimbulkan rasa benci Rahayu ke ibunya makin hari makin besar.
Selain dikenal punya tuyul, ikut
pesugihan, dan sebagainya. Pekerjaan baru Marni yang jadi rentenir ini bikin
warga desa makin menggunjingnya. Sebutan lintah
darat, tukang cekik orang miskin udah jadi hal yang biasa buat Marni.
Parahnya, dia ini sering diancam sama orang orang yang punya kuasa, mulai dari
tentara, lurah, bahkan bupati, buat ngasih sebagian penghasilannya ke mereka
dengan dalih uang keamanan. Dihina, tapi
toh dinikmati juga duitnya.
Tapi, apakah Marni benar-benar sejahat, sehina, dan sekeji itu?
Thoughts
Saking asyiknya baca novel ini,
aku berhasil melahap Entrok dalam
waktu enam jam saja. Nggak ada reading
slump waktu baca novel ini, rasanya pengen cepet cepet beres bacanya.
Dari beberapa lembar pertama aja,
aku udah dibuat yakin kalau ini emang bacaan bagus. Fortunately, novel ini bisa memenuhi ekspektasiku, bahkan banyak
yang di luar ekspektasiku! Novel ini emang berisi banyak
banget kritik sosial yang tajam namun disampaikan dengan cara yang apik.
Dan satu hal yang paling penting
dan aku suka dari novel ini adalah karena novel ini bisa mengaduk aduk emosi
aku, terutama rasa kesal aku.
Sumpah ya, you need to know kalau sepanjang baca novel ini, dada aku rasanya
sesak sama kekesalan. Serius deh ini! Mau marah, cape, kesel seperti yang
dialami Marni.
Aku kesel gimana orang yang punya
kuasa itu seenaknya, seenak udel, ngambil
hasil jerih payah orang. Seragam dan pangkatnya itu jadi senjata buat mereka
ngancam orang orang kayak Marni. Kalau nggak nurut, ya udah di cap yang
aneh-aneh; nggak nurut pemerintah lah, nggak dukung pemerintah lah, PKI lah,
dan hal hal menyebalkan lainnya.
Selain itu, konflik ideologi
Marni dan anak perempuannya juga jadi sesuatu yang menarik dari novel ini.
Marni, yang nyembah leluhur dan sering ngelakuin ritual, itu emang cuma nerusin
dan ngelakuin hal yang sama seperti yang diajarkan Mbok nya. Hal ini bikin Rahayu geram karena dengan ilmu pengetahuan
dan pendidikannya, dia paham kalau yang dilakuin ibunya itu menyimpang dari
agama yang ia pelajari. Hal ini bahkan bikin hubungan Marni dan Rahayu jadi
renggang.
Anak perempuan yang Marni
banggakan dan istimewakan, yang ia beri kenikmatan untuk hidup layak dan diberi
pendidikan sebaik baiknya justru malah membenci ibunya sendiri karena berbedanya
apa yang mereka yakini. Rahayu bahkan memilih meninggalkan ibunya; mematahkan
sejuta harapan yang Marni pupuk kepadanya.
Belum selesai sampai disitu,
derita Marni bertambah juga karena suaminya yang jadi suka memanfaatkan hasil
jerih payahnya untuk pergi ke tempat pelacuran. Seriously, it hurts.
Membaca novel ini, entah kenapa
aku merasa terikat dengan karakter Marni dan gimana struggle nya dia menjalani kehidupan dan nasib yang ia lawan.
I highly highly recommended this novel untuk mereka yang suka
membaca novel novel yang mengangkat tema tentang kritik sosial. It is a must-read book!
5/5 untuk novel yang
berhasil membuat emosiku ikut tumpah ke dalamnya.
Comments