Bhinneka – Tunggal – Ika, tiga
kata yang saya pelajari dalam pelajaran Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan ketika saya menginjak bangku kelas dua sekolah dasar. Artinya
berbeda-beda tapi tetap satu tujuan, begitu kata guru saya.
source: https://www.pinterest.com/pin/122512052336663103/ |
Kala itu, untuk membuat seluruh muridnya mengerti akan maksud dari tiga kata tersebut, guru saya mengikatnya dalam sebuah kata bernama toleransi. Lebih jauh, ia menjelaskan arti toleransi itu artinya menghargai perbedaan orang lain, entah itu perbedaan suku, ras, atau agama. Di buku pelajaran pun, bab mengenai Bhinneka Tunggal Ika tak jauh-jauh dari paragraf seperti: Ujang dari Sunda, Tomo dari Jawa, dan Ucok dari Batak, walaupun mereka berbeda-beda mereka tetap berteman dekat dan tidak membeda-bedakan.
source: http://nahdliyyah.org/2015/04/bhinneka-tunggal-ika.html |
Rasanya, bagi semua orang yang
lahir dan hidup di tanah air Indonesia, semboyan Bhinneka Tunggal Ika ini
pernah mereka dengar, bahkan pelajari, entah itu dalam bentuk sebuah pelajaran
bernama Pendidikan Kewarganegaraan, Pendidikan Pancasila Kewarganegaraan atau –
generasi ibu bapa saya menamainya dengan Pendidikan Moral Pancasila. Rasanya
guru-guru PKn pun akan tetap mempermudah pengertian semboyan negara ini lewat
contoh bernama toleransi yang saya bahas di atas.
Buat saya, tiga kata dalam
Bhinneka Tunggal Ika lebih mudah dimengerti ketimbang pelajaran Aljabar
matematika. Jadi, kalau pemahaman kita tentang pelajaran Aljabar bisa lupa
saking rumitnya, apa hal sama bisa terjadi juga pada kita dalam memahami
Bhinneka Tunggal Ika?
Kadang, mengimplementasikan lebih sulit dari sekedar mengetahuinya, mungkin hal
yang sama sedang terjadi pada bangsa kita. Bhinneka
Tunggal Ika yang digaung-gaungkan itu nyatatanya seperti cukup diketahui
saja – tidak untuk diterapkan filosofinya pada perilaku bernegara.
Belakangan ini, merasa bosan,
miris, sekaligus cukup kesal melihat tayangan dan pemberitaan di televisi dan
media lainnya yang itu itu saja. Media pun berlomba-lomba menyajikan headline semenarik dan semembakar mungkin. Sialnya, belum
selesai satu masalah, masalah lain malah semakin menyebar dan membesar. Bak melempar
api ke tumpukan busa, merembet. Salah satu dua kata ternyata bisa
sefatal ini akibatnya, memecah belah negeri. Tak salahlah jika ada peribahasa
Mulutmu, Harimaumu.
Namun, untuk apa ada polisi,
hukum, dan undang-undang jika masih mau main hakim sendiri?
Mengapa malah lebih semangat dalam membuat api
berkobar lebih besar dibanding mencoba memadamkannya? Jika memadamkannya sulit,
setidaknya diamlah. Jangan malah menyulut api dan menimbulkan
pertengkaran-pertengkaran lainnya. Melakukan tindakan seenaknya dan berlindung
dibalik nama agama seolah mereka cukup suci, padahal agamanya tak pernah mengajarkan
untuk berbuat kekerasan.
Indonesia bukan hanya ibu kota
Jakarta, masih banyak pulau membentang dari Sabang sampai Merauke. Indonesia
bukan hanya Muslim, masih banyak mereka yang ingin tenang ketika melakukan
ibadah kepada Tuhannya.
Indonesia bukan hanya Jawa, masih
ada Papua, Nusa Tenggara, Sumatera, dan lain-lainnya tak terkira.
Lantas, jika mereka berbeda dari
kita, apa kita memiliki hak untuk membenci? Apa kita seolah-olah menjadi yang
paling sempurna? Apa kita berhak menamai mereka sebebas mulut berkata?
Mengapa mudah sekali terprovokasi? Mengapa kecepatan jari
tangan mengetik kata-kata kebencian lebih cepat daripada menggunakan otak untuk
berpikir? Mengapa semudah itu menuduh, menghakimi, dan menyebar fitnah?
Mengapa
harus dengan kekerasan, cacian, makian, dan hinaan? Bukankah kita bersaudara?
Bukankah Bhinneka Tunggal Ika? Ah, Bhinneka – Tunggal – Ika, katanya...
Comments