Apa yang terlintas di benakmu ketika mendengar atau membaca
kata Bandung? Pastinya, tempat wisata, tempat makan enak, surganya belanja, dan
hal-hal seru lainnya yang dapat dilakukan di kota ini.
Namun, Bandung di
pendapatku tak sekedar itu. Bagiku, Bandung adalah kehidupan. Lahir dan
dibesarkan di kota kembang selama lebih dari 18 tahun ini memberikan arti lebih
luas dari makna Bandung untukku.
Bandung di mataku tak hanya tempat bersenang-senang, tapi tempat bagiku belajar dan memaknai bagaimana kehidupan itu sebenarnya.
Melalui tulisan ini, izinkan aku menceritakan bagaimana
luasnya makna Bandung buatku. Sebisa mungkin, akan kuceritakan seindah-indahnya
seindah cerita yang selalu mama dongengkan untukku di setiap malamnya. Selamat
masuk ke dalam ceritaku, semoga kamu bisa tersenyum juga seperti aku yang
tersenyum-senyum seraya mengetik kata demi kata tulisan ini, mengenang
bagaimana indahnya Bandung di ingatanku.
Kedua orang tuaku dipertemukan di kota ini. Ayahku yang asli
Bandung bertemu Ibuku, seorang pendatang dari Garut; daerah yang tak begitu
jauh dari Bandung. Aku lahir di kota kembang ini, tepatnya di sebuah rumah
bersalin di daerah Cicadas. Kian hari, aku tumbuh besar, di besarkan di bawah teduhnya
kota Bandung. Hingga akhirnya, aku beranjak besar, mengenyam pendidikan mulai dari TK hingga
saat ini duduk di semester dua perguruan tinggi di Bandung.
Dimana hayo? |
Tinggal selama itu di kota ini tak serta
merta membuatku benar-benar mengenal kota ini. Bahkan mungkin, pengetahuanku
tentang Bandung bisa jadi kalah oleh turis yang baru seminggu berkunjung ke
Bandung. Apalagi, kalau ditanyai seputar tempat wisata di kota Bandung.
Sepertinya aku kalah telak.
Selama tinggal di kota ini, kemana sajakah aku? Jawabanku,
hanya mendekam di rumah dan hanya keluar rumah untuk pergi ke kampus saja.
Paling banter, sesekali pergi keluar rumah untuk jalan-jalan walaupun hanya
sebentar saja. Kalau kata kang Emil sih, aku kurang piknik. Makanya, jangan harap aku akan menuliskan
rekomendasi tempat-tempat wisata di
Bandung di tulisan ini ya, karena aku saja mungkin belum pernah kesana. Tapi
bagiku, Bandung tanpa tempat wisata pun sudah sangat nyaman. Atmosfir yang
hangat, warga yang ramah, awan yang teduh, dan rimbunnya pepohonan seperti di
sepanjang jalan Cipaganti sudah lebih dari cukup membuat Bandung tempat yang
nyaman ditinggali. Eh tapi, masih pantaskah deskripsi itu untuk Bandung?
Sepertinya itu deskripsi Bandung di tahun 1990-an menurut
cerita Papa. Ah, terlepas dari Bandung dan sejuta permasalahannya, aku
benar-benar bersyukur bisa ditakdirkan untuk tinggal di tempat yang nyaman
ini. Kadang, aku merutuk kesal ketika dihadapkan dengan macet yang
menghalangiku di senin pagi menuju kampus. Itu membuatku deg-degan bukan main, kesal,
dan ingin menangis. Padahal dulu, rasanya macet di
Bandung tak separah ini. Ah, aku mengerti sekarang. Kota yang
nyaman ini, siapa yang tak mau tinggal di kota ini? Ribuan orang
berbondong-bondong menempati kota ini. Otomatis, akibatnya adalah bertambahnya
jumlah penduduk yang berimbas pada macet panjang. Ratusan bahkan ribuan orang
memenuhi jalanan kota Bandung setiap
harinya dengan kepentingan yang berbeda-beda. Ya, aku yang harus bangun dan berangkat lebih pagi.
Aku tinggal di Bandung timur, tepatnya daerah Arcamanik.
Cukup jauh dari pusat kota Bandung. Jarak dari rumahku ke kampus saja
lumayan jauh, 16 KM. Ya, jauh sekali. Perjalanan itu aku tempuh setiap
harinya menggunakan si hijau. Dia
adalah angkot trayek Cicaheum-Ledeng yang setiap harinya mengantarkan aku ke
kampus. Butuh dua jam perjalanan menuju kesana kalau gak macet. Dan
tahukah kamu? Aku adalah penumpang paling lama setiap harinya, naik dari
terminal hingga turun lagi di terminal. Setiap hari, aku menyusuri jalan Cicaheum,
jalan Supratman, jalan Tamansari, jalan Cipaganti, jalan Sukajadi, hingga
tibalah di jalan Setiabudi. Wah jauh sekali.
Sejauh itu juga perjalananku di kota ini. Jutaan tawa telah
aku luapkan disini, begitupun dengan ribuan tetes air mata. Kota ini terlalu komplit. Kota ini menyimpan
banyak kenangan untuk hidupku. Kota ini seperti saksi, Bandung adalah kamera
kehidupanku. Momen demi momen ia potret dan hasil potretan itu mungkin tak akan
bisa ku lupakan seumur hidupku. Satu persatu momen itu saling berkaitan, tanpa
disengaja.
Waktu aku kecil, destinasi perjalananku setiap liburan adalah pergi ke Kebun Binatang
Bandung yang berada di Jalan Tamansari. Terkadang, aku pergi kesana bersama
sepupu-sepupu kecilku. Main ke Kebun Binatang di waktu itu adalah momen paling
bahagia. Namun, seiring berjalannya waktu dan seiring tumbuh besarnya aku,
Kebun Binatang rasanya hambar. Bahkan aku pernah berucap “Ngapain sih ke
bonbin, nggak rame” Entah, aku tak
mengerti mengapa waktu dapat merubah sesuatu yang dulu sangat aku sukai menjadi
aku hindari. Mungkin karena Kebun Binatang Bandung yang semakin kotor,
banyak hewan yang mati, dan merajalela nya tempat wisata baru yang lebih
mengasyikan di kota ini, membuat aku
ogah-ogahan pergi ke Kebun Binatang. Namun, Kebun Binatang juga merupakan
tempat yang terpotret dalam kenangan itu, aku tak akan mungkin bisa melupakan
bagaimana girangnya aku bisa naik unta untuk yang pertama kalinya, menyentuh
ular secara langsung, dan melihat harimau secara langsung saat itu. Dan seperti
yang aku katakan, momen-momen itu saling berkaitan. Setiap melihat Kebun
Binatang yang kulalui tempatnya hampir setiap hari, kenanganku kembali ke masa itu.
Masa kecil yang penuh bahagia.
Gedung Sate di tahun 2002 |
Perayaan malam tahun baru 2014 lalu, untuk pertama kalinya,
aku menyaksikan bagaimana indah, ramai, dan meriahnya Bandung di malam tahun
baru. Saat itu, saudaraku mengajakku nonton sebuah pertunjukan di Dago. Jam
menunjukan pukul 10 malam. Malas, ini kan waktunya tidur, bukan keluar rumah.
Tapi difikir-fikir, aku belum pernah menyaksikan bagaimana Bandung di malam
tahun baru secara langsung. Akhirnya aku menurut saja dan tahukah kamu? Excited! Begini ya serunya di malam
tahun baru. Saat itu juga, aku percaya, orang Bandung pada bahagia. Karena excited nya aku, kami sampai diajak
mengelilingi Bandung; ke Tegalega, Alun-alun, Asia Afrika, Gasibu. Padahal
waktu sudah menunjukkan pukul 1 dini hari, tapi itu pengalaman yang mengasyikan
sampai menyisakan gelak tawa dan momen tak terlupakan setelahnya.
Apalagi yang harus aku ceritakan?
Ah ya, pengalaman tak terlupakan bersama teman-teman baikku
semasa SMA. Saat itu, kebetulan hari pertama masuk sekolah setelah libur
panjang Idul Fitri. Seperti biasa, yang terjadi hanya Halal Bihalal saja dan
akhirnya pulang cepat. Entah kenapa, tiba-tiba saja ide untuk main meluncur
dari otakku dan disambut baik kedua temanku. Akhirnya, rencana hangout yang telah lama direncanakan
kalah juga dengan ide spontan dari otakku. Kami pun main ke daerah Jalan
Belitung. Rencananya, kami akan makan steak
karena disitu ada tempat makan steak yang
terkenal. Setiba disana, tempatnya belum buka. Kami terlalu excited sampai tak melihat kalau ini
baru jam setengah 8 pagi dan tempat itu baru buka jam 12 siang. Restoran mana
yang buka sepagi ini selain tempat makan bubur ayam. Daripada pulang dengan
perasaan kecewa. Aku mengutarakan ide kepada kedua temanku yang tampak
kebingungan saat itu. “Gimana kalau main
ke Taman Musik, yuk?” Entah kenapa, ide itu muncul di kepalaku, padahal
sungguh, aku belum pernah kesana, cuma ngelewat sekilas sewaktu akan pergi ke
sebuah tempat. Aku asal jeplak aja
karena itu taman yang baru dibuka pak Ridwan Kamil beberapa bulan lalu. Mereka
pun lagi-lagi menyambut antusias. Dan ternyata… kami malah nyasar! Parahnya
lagi, kami berjalan kaki. Betapa tersiksanya mereka karena aku. Padahal
sebenarnya, Taman Musik tak jauh dari tempat steak itu. Ah, memalukan. Setelah nyasar lama, akhirnya ketemu juga
Taman Musik itu. Kami diam disana, menikmati semilir angin, hangatnya matahari
pagi, dan wifi. Kami juga sempat foto-foto disana, momen berikutnya yang
diabadikan di kota ini. Lihat wajah ceria kami, sekalipun harus nyasar dulu
sebelumnya.
Setelah lelah foto-foto , kami pun memutuskan untuk
duduk-duduk disana. Suasana pagi itu tak begitu ramai. Tiba-tiba saja, sosok
seorang yang aku amat kenali muncul di hadapanku. Dia adalah kang Emil! Shock, dan tiba-tiba kang Emil datang menghampiri kita bertiga.
“Lagi ngapain ini
disini?”
“Main pak.” ujar kami serempak
“Bolos ini teh?”
Entah kenapa, kang Emil bisa ngomong gitu. Tapi pantas sih,
orang pagi-pagi kami disini, mengenakan seragam SMA pula. Baru ingat.
“Nggak atuh pak, kan cuma halal bihalal”
“Oh bagus-bagus”
“Oh iya pak, belum minal
aidzin sama bapak.” Temanku tiba-tiba nyeletuk dan salam ke kang Emil.
Herannya, aku malah mengikuti.
“Gimana ini wifinya
kenceng ya?” tanyanya
“Iya kenceng pak, ini lagi download”
“Coba saya lihat”
kang Emil ngambil handphone saya dan
ia coba untuk browsing. Huaaa, handphone
saya dipegang.
Tak terlalu ingat bagaimana percakapan lengkapnya. Yang
jelas, saat itu, ada wartawan juga yang membuntuti kang Emil dan jadinya kita
malah di wawancara bareng kang Emil.
Kang Emil pun melengos pergi, tiba-tiba rame dan pas dilihat
ternyata ada yang mau foto bareng sama kang Emil. Dan seketika terfikir.
“kenapa bukan tadi minta foto, padahal ngobrol”. Teman saya pun berfikiran sama
sepertinya, dan tanpa berbicara, kami berlari ke arah yang sama seolah mengerti
maksud satu sama lain. Kami pun harus sedikit antre buat foto sama Kang Emil.
Bangga menjadi orang Bandung dengan segala kelengkapannya.
Termasuk dengan wali kota nya sendiri yang begitu aku kagumi. Low profile, ramah, santai, gaul,
ganteng, tapi kontribusinya banyak. Dimana coba bisa ngajak foto walikota?
Boro-boro walikota yang super sibuk, artis aja yang baru terkenal dikit, udah
ogah dan nolak diajak foto. Tapi dengan ramahnya, kang Emil bersedia diajak
foto. Pemimpin yang saya kagumi, bahkan beliau menjadi inspirasi saya menulis descriptive text untuk tugas kuliah.
Setelahnya, aku berbicara kepada kedua temanku “Tuh kan,
udah takdirnya kita harus nyasar dulu. Jadinya kan bisa ketemu kang Emil”
ujarku. Teman-temanku mungkin terpaksa mengiyakan. Tak terasa, waktu sudah jam
12 lebih dan artinya tujuan awal kami sudah buka. Hari itu, menjadi hari tak
terlupakan bagi ku sendiri. Sekaligus, menjadi hari yang paling aku rindukan.
Rindu, mereka berdua, orang yang aku bikin nyasar dan terpaksa berjalan cukup
jauh, tapi mereka tertawa saja dengan senangnya. Tak menghiraukan, aku yang
khawatir akan mereka. Entah, bagaimana di hati mereka. Yang jelas, aku rindu momen itu.
Momen indah selanjutnya adalah jalan-jalan mengitari Bandung
bersama keluarga. Jauh-jauh hari, Papa merencanakan, di libur Idul Fitri, kita
bakalan main. Main versi keluarga kami bukan main ke tempat wisata seperti
kawah putih, tangkuban perahu, dan sebagainya. Yang namanya main adalah keluar
rumah, terserah kemana saja. Untungnya, hari itu mainnya agak jauh, ke Asia
Afrika. Aku menyarankan tempat itu biar bisa foto-foto HEHE. Papa pun setuju
dan pergilah kami kesana. Papa bersama adik-adik naik motor dan aku naik bus
Damri ditemani Mama. Setibanya disana, cuaca Bandung saat itu nampak
bersahabat. Cerah dan hangat seperti perasaanku hari itu. Kami berfoto disana,
setelah itu kami berjalan-jalan mengitari jalan Braga, hingga akhirnya
terdampar di Balai Kota. Seru!
07'14 |
Bisa meluangkan waktu untuk piknik bersama keluarga, bagiku hal yang amat membahagiakan, karena
kesempatan itu jarang sekali terjadi. Dan detik ini, aku rindu masa itu. Rindu
bisa main bersama keluargaku, mengingat betapa sempitnya waktu buatku yang
setiap harinya hanya memelototi jadwal
deadline.
Aku juga salah satu orang yang tercengang mengamati Bandung
di bawah komando Kang Emil. Kaget ketika Alun-alun Bandung yang dulunya jadi
tempat mainku sambil beli kaset di Kota Kembang disulap menjadi tempat yang
sekelilingnya dipenuhi rumput sintetis hijau. Hal itu juga yang menyebabkan
Alun-Alun Bandung saat ini seramai sekarang.
Jujur, aku kurang update. Masak orang Bandung baru main ke
Alun-Alun Bandung yang ada rumputnya setelah beberapa bulan diresmikan. Saat
melihat betapa ramainya suasana Alun-alun, kembali, aku kagum. Kang
Emil dengan pemikirannya yang Out of the
Box. Benar-benar kefikiran ya bikin ginian. Saat itu juga, saya melihat
lebih banyak tawa di Alun-Alun.
Pardon ma' face. Untuk bayangan aja bagaimana ramainya Alun-alun Bandung |
Jauh sekali seperti Alun-alun yang saya
kunjungi sekitar dua tahun lalu. Alun-alun yang isinya tukang ketan bakar,
tukang pakaian, tukang cuanki yang saya kangenin, cuankinya, nenek-nenek
yang jualan sate, hingga tukang mainan yang jelas sekali nampak gurat kelelahan
di wajahnya. Sekarang, Alun-alun itu disulap menjadi
tempat untuk berbahagia dan tertawa, seakan orang-orang yang ada disana tak
punya beban dan masalah dalam hidupnya. Kaya – miskin, Dokter – Pedagang
asongan, Bayi – Lansia semuanya tertawa. Seakan meyakinkan bahwa bahagia itu
sesederhana melihat Alun-Alun yang alasnya bisa dipakai tiduran.
Dan semua kejadian yang aku alami di kota ini memberikan aku penjelasan bahwa kota ini adalah tempat untuk menjadi bahagia, sebahagia aku saat ini, mendengar rintik hujan sambil memutar kembali memori tentang
Bandung di ingatanku.
Bandung, 21 Februari 2016: 18.49
Ditemani rintik hujan yang tak kunjung berhenti
sejak sejam tadi, seolah-olah menemani untuk terus menulis.